Anugerah Sasterawan Negara Malaysia

Oleh: Dr Endi Haryono

MALAYSIA untuk waktu lama belajar dan meniru Indonesia dalam pengembangan sastra dan penghargaan kepada para sastrawannya. Saat ini Malaysia jauh melampaui Indonesia dalam soal ini.

Sementara penghargaan sastra di Indonesia tidak lagi prestisius dan menjadi wacana akademik yang hangat, Malaysia semakin mapan dengan penghargaan sastra dua tahunan, Anugerah Sasterawan Negara (ASN). Kontras yang terjadi pada dua negara dalam hal penghargaan sastra, tentu saja, berimplikasi pada penghargaan kepada sastrawannya.

Jangan Lewatkan

Happy Teachers’ Day!

Guru, Pahlawan Sepanjang Masa

1 of 5

Sementara Malaysia menyadari kekurangannya dalam hal sastra sehingga harus belajar dan mendatangkan guru-guru dari Indonesia dan kemudian berbenah, Indonesia sebaliknya, tampaknya masih terjebak pada kebanggaan atas kekayaan warisan budaya dari masa lalu.

Karenanya, Indonesia kurang atau bahkan tidak memikirkan secara serius pengembangan sastra. Sastra seharusnya menjadi pintu masuk praktis dan berkesan menuju pembangunan kebudayaan dan revolusi mental untuk manusia Indonesia baru.

Sasterawan Negara Malaysia

ASN (Anugerah Sasterawan Negara) diberikan oleh Kerajaan Malaysia (pemerintah) kepada penulis atau sasterawan Malaysia atas karya-karya yang telah ditulisnya, diberikan rutin sejak tahun 1981. Semacam Hadiah Nobel Sastra dalam lingkup Malaysia, diberikan setiap dua tahun.

Penghargaan diberikan berdasarkan kualitas karya-karya sastra yang telah ditulis dan diterbitkan, berdasarkan penilaian dari Komite Anugerah Sasterawan Negara. Komite ini dibentuk dan bekerja untuk Kementerian Pengajaran dan Dewan Bahasa Malaysia, sebagai pelaksana ASN.

Sama seperti Hadiah Nobel, penilaian didasarkan pada keseluruhan karya-karya yang dibuat oleh penulis atau sasterawan, bukan hanya yang diterbitkan dalam dua tahun terakhir. Selain menilai kekuatan dari karya-karya yang dihasilkan, karenanya, Komite ASN melihat juga konsistensi penulisnya dalam berkarya.

Penerima Anugerah Sasterawan Negara mendapatkan penghargaan dari Negara berupa Hadiah Utama, royalti penerbitan ulang karya-karyanya untuk didistribusikan perpustakaan-perpustakaan sekolah dan umum, dan tunjangan hidup bulanan. Tiga penghargaan ini, ditotal, jumlahnya cukup besar.

Sebagai ilustrasi, saya ambil penghargaan material yang diterima oleh penerima Anugerah Sasterawan Negara terbaru di tahun 2019, yakni Siti Zainon Ismail (70 tahun). Siti Zainon adalah penulis dan penyair wanita yang juga adalah seorang dosen sastera di Malaysia.

Selain dikenal di Malaysia, Siti Zainon juga sangat populer di kalangan penulis dan mahasiswa-mahasiswa sastera-budaya di Aceh, yang adalah kampung halaman keduanya.  Atas anugerah ini, Siti Zainon mendapatkan hadiah uang total senilai Rp 1,8 milar.

Rincian uang penghargaan tersebut demikian. Sebagai penerima ASN Malaysia, Siti Zainon mendapatkan hadiah uang tunai sebesar RM 60.000 atau setara dengan Rp 202 juta yang diterima pada saat dilangsungkan acara penganugerahan.

Baca Juga  Yuk! Cegah Perundungan dan Kekerasan Seksual

Selanjutnya, Siti Zainon akan menerima royalti penerbitan dari penerbit negara senilai RM 500.000 atau setara Rp 1,5 miliar, diberikan bertahap sesuai penerbitannya.

Beberapa judul buku karya penerima ASN, dengan seleksi oleh Komite Bacaan Sastera Sekolah, akan dijadikan bacaan sastera wajib di sekolah-sekolah menengah di Malaysia dan kerenanya akan dicetak oleh penerbit negara dalam jumlah banyak.

Siti Zainon, sejak dinyatakan sebagai sasterawan negara, menerima tunjangan hidup bulanan (elaun) sebesar RM 5.000 setara Rp 22 juta hingga meninggal. Di luar ini, Siti Zainon akan otomatis mendapatkan jaminan perawatan kesehatan kelas VIP dari negara sepanjang hidupnya.

Di Malaysia, sasterawan adalah ‘pemikir bestari’ atau ‘pujangga’ yang memiliki strata sosial tinggi di masyarakat. Ini, saya kira, bagian dari kelanjutan tradisi Melayu pada kerajaan-kerajaan Nusantara – termasuk Jawa – yang sangat menghargai para sasterawan dan pujangganya.

Wujud nyata dari penghargaan ini dengan membuat karya-karya mereka dibaca secara luas, sebagai bacaan wajib di sekolah dan tersedia di perpustakaan-perpustakaan umum . Cara yang lain dengan menjaga kehidupan material mereka agar terus berkarya dengan produktif dan juga mendapatkan penghargaan dalam pergaulan di masyarakatnya.

Bacaan Sastra Wajib

Terpilih menjadi Sasterawan Negara Malaysia, selain mendapatkan penghargaan material yang akan menopang status mereka sebagai pujangga dan penjaga kebudayaan, yang lebih penting adalah karya-karya mereka akan dibaca oleh para siswa di Malaysia sebagai bacaan sastera wajib.

Satu atau beberapa karya terbaik dari sasterawan negara akan diambil sebagai bacaan Sastera Wajib di sekolah-sekolah Malaysia pada tingkatan kelas yang ditentukan oleh Kementerian Pengajaran.

Malaysia secara konsisten sejak merdeka memasukkan dalam kurikulum sekolah-sekolah menengah mereka bacaaan sastera wajib untuk semua siswa. Konsisten karena kebijakan ini tidak pernah diganggu gugat, direvisi atau diotak-atik.

Yang berubah adalah buku-buku sastera yang menjadi materi bacaan sastera wajib tersebut, yang ditentukan oleh Komite dan disesuaikan dengan tingkatan kelas.

Selain meneruskan tradisi Melayu lama bahwa siswa harus membaca karya para pujangga mereka, Malaysia juga belajar dan meniru pendidikan dasar dan menengah Indonesia.

Lha, di Indonesia kini, bacaan sastra wajib di sekolah-sekolah menengah justru malah hilang ditelan semangat ‘inovasi’ para ahli pendidikan baru dan gegap gempita pembangunan.

Baca Juga  Ini Dia Jurusan IPS yang Paling Mudah Dapat Kerja bagi Lulusannya

Bacaan sastera wajib sangat populer di sekolah-sekolah menengah di Malaysia dan warga Malaysia membanggakannya. Kegairahan akan karya sastra ini justru hilang dari Indonesia.

Di tahun-tahun awal setelah merdeka, banyak karya sastera dari penulis Indonesia menjadi materi bacaan sastra wajib di Malaysia.  Hingga tahun 1980-an, Malaysia mengambil banyak buku karya sastrawan Indonesia (terutama novel) sebagai bacaan wajib sekolah.

Lebih-lebih lagi, hingga tahun ini, Malaysia banyak mengundang guru-guru dari Indonesia dan belum melahirkan penulis-penulis sastra sendiri yang hebat. Sementara, buku-buku karya sastra (Indonesia dan Melayu) adalah bagian penting dari pengajaran di tingkat sekolah menengah, baik untuk pembangunan karakter (character building) maupun pembangunan kebangsaan (nation building) di Malaysia.

Malaysia secara konsisten sejak merdeka memasukkan dalam kurikulum sekolah-sekolah menengah mereka bacaaan sastera wajib untuk semua siswa. Konsisten karena kebijakan ini tidak pernah diganggu gugat, direvisi atau diotak-atik.

Penulis-penulis Indonesia seperti Idrus, Hamka, Pramoedya Ananta Toer, Sutan Takdir Alisajahbana, Marah Roesli, Utuy Tatang Sontani, I Nyoman Pandji Tisna, dan lainnya sangat dikenal di Malaysia dan karya-karya mereka dibaca.

Buku-buku Pramoedya Toer, yang dilarang di Indonesia sejak tahun 1965, masih tersedia dan menjadi bacaan sekolah di Malaysia pada tahun 1970-an dan 1980-an.

Baru pada akhir 1980-an karya-karya sastera (novel) Malaysia sendiri banyak diterbitkan, sebagian karya penerima ASN, dan mulai masuk menjadi bacaan sastra wajib di sekolah. Saaat ini, hampir semua kebutuhan buku bacaan sastra wajib telah dipenuhi oleh karya sastrawan Malaysia sendiri.

Karya sastra dari para sastrawan diambil sebagai bacaan wajib di sekolah dalam rangka turut membantuk pribadi bangsa Malaysia yang berkualitas. Membaca karya sastra mendiskusikannya dengan para guru dan siswa lainnya di sekolah memberikan kesan yang mendalam.

Kebijakan ini dijalankan dengan sadar oleh Malaysia sebagai bagian dari kurikulum sekolah menengahnya dan, yang lebih penting, dilakukan secara konsisten.

Karya sastra (novel) adalah materi pengajaran bagi siswa sekolah menengah yang mendidik, memberikan pengajaran, dan sekaligus menghibur sehingga menarik minat siswa untuk mengikutinya secara berkesan.

Malaysia menerapkan ini secara serius dan konsisten. Membuat penghargaan ASN dan membentuk Komite Bacaan Sastera Wajib adalah bagian dari ini.

Baca Juga  Kunci jawaban Buku Matematika Kelas 7 halaman 113 114 Kurikulum Merdeka

Penutup

Penghargaan terhadap karya sastra dan sastrawan masih sangat kurang di Indonesia saat ini, dan bahkan tengah mengalami defisit. Paradigma pembangunan Jokowinomics dan slogan Merdeka Belajar belum menyentuh ranah ini.

Skema penghargaan sastra semacam ASN di Malaysia tidak ada di Indonesia yang memiliki banyak penulis dan sastrawan hebat. Hal yang serupa pernah ada di masa lalu, lenyap tergilas hiruk-pikuk teriakan politisi dan politik proyek yang juga menyapu sistem pendidikan dasar dan menengah kita.

Indonesia memang, kalau kita jujur, berada jauh di belakang Malaysia dalam hal penghargaan atas karya sastra. Kita memang masih sangat di depan dalam hal warisan budaya, baik benda cagar budaya maupun karya-karya seni dan sastra, yang diwariskan nenek moyang kita.

Namun, kita terus mengalami kemunduran dalam hal kebijakan negara yang mendorong kerja-kerja sastra ini. Hanya karena kita memiliki banyak orang-orang kreatif yang berdedikasi, maka kita tetap bisa berjaya dalam hal ini. Indonesia bukan hanya di belakang dibandingkan Malaysia, tetapi juga menyedihkan.

Banyak karya sastra yang bagus ditulis oleh sastrawan Indonesia di masa lalu dan berlanjut hingga sekarang, tetapi anak-anak sekolah tidak diajarkan untuk membacanya.

Bacaan sastra wajib dibiarkan hilang dari sekolah-sekolah menengah, sementara buku-buku sastra yang tersisa dibiarkan rusak dimakan rayap tanpa penerbitan ulang berkala. Bahkan penerbitan negara, seperti Balai Pustaka, yang dulu menjadi pelopor penerbitan karya sastra Indonesia tidak jelas nasib dan perannya. Buku-buku bacaan sekolah kini justru dijadikan proyek rente ekonomi, mengabaikan kualitasnya.

Indonesia banyak melahirkan sastrawan besar di masa lalu, dan berlanjut hingga sekarang. Kendati demikian, negara belum memberikan penghargaan layak kepada mereka.

Meniru apa yang Malaysia tiru dari kita tidak ada salahnya untuk dilakukan. Para sastrawan kita, saya kira, menulis tidak untuk menjadi kaya tetapi ingin turut membangun kehalusan budi dan karakter bangsanya.

Revolusi Mental untuk membangun manusia baru Indonesia barangkali tidak memerlukan banyak hiruk-pikuk seperti sakarang. Menghargai sastra dan sastrawan dengan bacaan sastra wajib di sekolah seharusnya menjadi pintu masuk untuk ini.

Dr Endi Haryono

Dekan Fakultas Humaniora, President University, Cikarang. Pernah menjadi  dosen tamu di Universitas Utara Malaysia (UUM), Kedah, tahun 2010-2012.

Korespondensi Email
– endi@president.ac.id/id
– jurnalguru.id1@gmail.com

 

Comments
Loading...